Sekolah Tinggi-tinggi Eh, Dipimpin Orang Politik
(Catatan buat pemikir pemerintahan)
Oleh : Mahrus Andis
Tudang Sipulung Literasi Warga di Baruga Maccini Sombala, Jumat 27 Januari 2023, berakhir pukul 16. 30 WITA. Namun saya bersama teman diskusi di kafe baca: Rusdin Tompo, Zulkarnain Hamson, Awing Mitos, Rusdy Embas, Fadli Andi Natsif, Syahril Dg. Nassa dan Rahman Rumaday masih kongkow di belakang Baruga. Di situ, ditepi sungai yang berhias keramba ikan, ada kafe cantik untuk duduk bersantai. Lurah Maccini Sombala, Saddam Musma, merekomendasi kami minum kopi di tempat itu.
Duduk bersama Jurnalis, sastrawan dan akademisi, sudah pasti ribut. Tapi ributnya, tentu bukan soal politik praktis menjelang Pilpres 2024. Melainkan, tentang sistem politik pemerintahan yang selama ini dirasakan tidak adil.
“Saya juga tidak setuju itu”, seruduk Zulkarnain Hamson, menanggapi awal pembicaraan saya tentang sistem kepemimpinan di birokrasi pemerintahan.
“Kalau orang yang memimpin lembaga publik memiliki kompetensi manajerial, paham tugas pokok kepemerintahan, apalagi ia berangkat dari pengalaman mengelola birokrasi; tentu bukanlah problem”, lanjut Direktur Pusdiklat Join Sulsel tersebut.
“Nah, di situ persoalannya. Justru yang terjadi sekarang, jauh kandang dari sapi,” cetus saya.
Sesedot kopi dari kemasan plastik mungil mengalir ke tenggorokan. Teman lain seakan jeda mengunyah pisang goreng dan kompak menatap wajah saya. Mungkin mereka agak tergelitik oleh pilihan majas “jauh kandang dari sapi”.
Zul, yang kelihatannya juga merasa lucu mendengar bahasa figuratif itu, tersenyum kecil. Soalnya, yang sering mereka dengar adalah frasa: jauh panggang dari api.
“Coba bayangkan. Para pejabat pemerintahan sudah disekolahkan tinggi-tinggi. Mereka adalah sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Bahkan sejak awal dilatih prajabatan, kemudian mengikuti DIKLAT teknis pembidangan. Para pejabat struktural, mulai eselon rendah hingga yang paling tinggi disyaratkan lulus pendidikan LATPIM penjenjangan karier. Lebih dari itu, sebelum menduduki jabatan, mereka di fit and proper test.Tapi hasilnya apa ?
Pada akhirnya mereka pun harus pasrah dipimpin oleh figur-figur Politik. Mendinglah jika figur itu memiliki wawasan kepemerintahan dan menguasai manajemen pelayanan publik.
“Saya kembali diam. Seiris ubi goreng menyusup ke dalam mulut. Dengan kodrat keterampilannya, lidah segera menyambut ubi itu dan menggiring ke mesin pencernaan. Wajah-wajah teman seperti mencoba memahami apa yang saya diskusikan dengan jurnalis Zulkarnain Hamson di samping saya itu.
Rusdin Tompo yang sejak awal asyik berbincang dengan teman di depannya, kelihatan sedang mengingat-ingat sesuatu. Mungkin ia sedang berpikir, betapa banyak Pejabat Dinas yang sudah mencapai karier tertinggi di birokrasi pemerintahan, namun tak mampu berkreasi sesuai tuntutan kinerja. Mengapa ? Mereka tersekap dalam framing ideologi pemimpin politik yang tidak paham manajemen administrasi negara.
Awing Mitos dan Rusdy Embas juga menampakkan wajah serius. Kedua wartawan senior ini (seakan) membenarkan apa yang baru saja saya lontarkan. Boleh jadi mereka membayangkan, betapa hebatnya kekuasaan “tinta biru” di tangan seorang pemimpin jabatan politis.
Sementara itu, Rahman Rumaday dan Syahril DaEng Nassa kelihatan kurang tertarik soal apa dan siapa pengendali manajemen pemerintahan di satu wilayah. Bagi mereka, (mungkin) yang terpenting adalah konsistensi terhadap pendidikan literasi agama, sosial-politik, budaya, ekonomi, hukum dan pemerintahan yang tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan suksesi pencitraan ekasegi.
Di mata saya, yang paling antusias ingin berdalih tentang argumen tatakelola pemerintahan adalah Fadli Andi Natsif. (Boleh jadi) dosen ilmu hukum ini pun, setuju dengan pendapat saya bahwa rekruitmen pejabat di ruang birokrasi sering tidak tepat sesuai kompetensi keahlian seseorang. Fadli tidak sempat berbicara mengemukakan pendapatnya sebab saya segera melanjutkan diskusi kembali.
“Bung Zul. Tadi saya sudah minta dibayangkan. Sekarang saya ingin agar kita semua memikirkan hal ini”, kata saya. “Hal pemimpin birokrasi pemerintahan, kan ? Kalau itu, dari awal saya sudah katakan tidak setuju”, jawab Zul.
Saya menatap wajah Zulkarnain yang juga dosen komunikasi itu. Di binar matanya ada ide yang terbaca. (Sepertinya) dia ingin mengusul kepada Presiden agar sistem kepemimpinan yang berlaku di birokrasi pemerintahan dikembalikan seperti zaman orde baru. Jika benar hasil bacaan saya terhadap apa yang ada di otak Zul, maka saya pun sudah pasti sependapat.
Menurut saya, sistem penjenjangan karier harus menjadi tolok ukur bagi penempatan seorang pemimpin di lembaga pemerintahan. Tidak terkecuali Bupati dan Wakil Bupati.
Di zaman orde baru, Bupati dan Wali Kota diangkat oleh gubernur dari kalangan pejabat karier senior (baca: eksekutif). Orang-orang yang dianggap mampu menjadi Kepala Daerah, termasuk Gubernur, adalah pejabat sipil dan ABRI. Mereka paham tupoksi birokrasi, memiliki wawasan manajerial dan menguasai sistem pelayanan publik.
Mengapa? Karena pejabat sipil (termasuk juga ABRI) sudah selesai dengan dirinya. Artinya, sudah matang dengan wawasan pengetahuan dan pengalaman birokrasi yang dilaluinya.
Posisi dan background referensial pribadinya sangat tepat: ibarat sapi di dalam kandangnya sendiri. Itu menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang selama ini terkesan menimbulkan sinisme masyarakat :
“Sekolah tinggi-tinggi, eh, akhirnya juga dipimpin orang politik”, kata saya membatin.
Petang mulai merambat. Matahari sekejap lagi mencium wajah sungai. Kami pun sepakat membubarkan diri. Kesimpulan diskusi ada di dalam pikiran masing-masing. Dan solusi di tangan pengambil kebijakan. *
-Mks, 29 Jan. 2023-
Penulis adalah Seorang Pensiunan Birokrat di Pemerintahan Kab. Bulukumba dan Budayawan Sulsel.