Tokoh Agama Asal Bulukumba Ramai-ramai Sebut Kebijakan Melepas Jilbab Bagi Paskibraka Putri Ancam Persatuan NKRI


Kedua tokoh agama menilai keharusan untuk melepaskan jilbab adalah pengabaian terhadap komitmen keagamaan, terutama bagi Muslimah yang seharusnya bangga dengan identitas mereka/Dok. Int

KABAR TOKOHBULUKUMBA, Sebuah pernyataan yang menyebutkan putri yang mengenakan jilbab harus melepaskan jilbabnya untuk menjadi anggota paskibra tengah viral dan memicu perdebatan. Shamsi Ali Al-Kajangi, seorang tokoh masyarakat dan pemuka agama Islam di New York Amerika Serikat mengekspresikan kekecewaannya terhadap kebijakan tersebut dalam tulisannya yang beredar di berbagai platform sosial media, Kamis (15/08/2024).

Dalam pandangannya, perintah ini menggambarkan sikap diskriminatif terhadap agama dan mencerminkan ketidakpahaman terhadap nilai-nilai Pancasila. “Keharusan untuk melepaskan jilbab adalah pengabaian terhadap komitmen keagamaan, terutama bagi Muslimah yang seharusnya bangga dengan identitas mereka,” ujarnya.

Shamsi mengkritik alasan di balik kebijakan tersebut yang mengklaim perlu adanya “penyeragaman” dalam paskibra. “Alasan ini tidak mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman. Kita adalah bangsa yang ragam dan mencintai keragaman. Bukan bangsa yang ‘seragam’ dan harus ‘diseragamkan’,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa perintah tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia. “Perintah melepas jilbab adalah bentuk ketidakberdayaan yang menghancurkan identitas,” katanya.

Shamsi menekankan bahwa keberagaman harus dirayakan, bukan dipaksakan untuk seragam. Ia mengajak masyarakat untuk mempertanyakan siapa yang sebenarnya berjuang untuk nilai-nilai Pancasila dan menyerukan perlunya menghargai perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara itu, H. Abd. Halim Bukhari, Ketua Tanfidziah NU Bulukumba dan Wakil Ketua Umum MUI Bulukumba memberikan tanggapan tegas terhadap kebijakan pelarangan jilbab ini. Menurutnya, tindakan ini bukan sekadar kontroversi tetapi merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Ia menjelaskan, “Nilai dan etika-moral Pancasila seharusnya menjunjung tinggi keyakinan, Bhineka Tunggal Ika, keragaman dan saling menghormati suku, ras, dan agama. Ketika kita melarang seseorang untuk mengekspresikan identitasnya, kita melanggar prinsip-prinsip dasar yang harus dijunjung oleh setiap warga negara.”

Bukhari juga menambahkan bahwa kebijakan ini berpotensi memecah belah persatuan bangsa. “Dalam konteks ini, pihak yang melarang adalah provokasi yang akan memecah belah persatuan NKRI,” ungkapnya. Ia menekankan bahwa keberagaman adalah kekuatan Indonesia dan setiap upaya untuk menghilangkan perbedaan justru akan merugikan integrasi dan persatuan bangsa.

Bukhari mengajak semua pihak untuk berpikir kritis dan mengedepankan dialog yang konstruktif. Menurut Wakil Ketua Umum FKUB Kabupaten Bulukumba ini negara ini dibangun atas dasar saling menghormati dan mengakui perbedaan, bukan sebaliknya. 

Kebijakan ini masih menjadi perdebatan hangat dengan banyak yang menganggapnya sebagai langkah mundur dalam menghormati hak-hak individu dan komitmen agama.(***)

Berita Terkait

Top