Desa Tugondeng, Jeritan Kekeringan di Tengah Harapan yang Memudar
CATATAN KAKI –– Di pinggiran Kecamatan Hetlang, Desa Tugondeng tepatnya di Poros Mallombong Kajang, musim kemarau bukan hanya sebuah fenomena alam yang datang dan pergi. Bagi warga desa ini, kemarau adalah ‘,kutukan’ tahunan yang menguji batas ketahanan dan kesabaran mereka. Setiap menjelang kemarau, ada rasa was-was yang merayap di benak setiap orang, ketakutan yang seolah-olah menyesakkan udara di sekitar mereka.
Saat kemarau tiba, daerah ini berubah menjadi ladang penderitaan yang nyata. Sumber mata air yang menjadi penopang kehidupan perlahan mengering, hanya menyisakan kenangan pahit tentang masa lalu yang lebih baik. Setiap tetes air hujan yang berhasil ditampung adalah anugerah tak ternilai, disimpan dengan cermat dalam wadah seadanya, kolam-kolam kecil yang dibuat dengan susah payah, seolah-olah mempersiapkan diri untuk perang melawan kemarau yang tak terelakkan.
Hari demi hari, tanah di daerah ini semakin merekah, menandakan parahnya kekeringan yang melanda. Langit yang cerah dan matahari yang bersinar terang, yang dulu menjadi lambang kebahagiaan, kini menjadi musuh yang ditakuti. Setiap pancaran sinar matahari membawa kabar buruk, mengeringkan sedikit sisa-sisa air yang ada di dalam tanah. Warga desa, dengan langkah berat dan wajah yang penuh kekhawatiran, harus berbaris menuju sumur-sumur yang tersisa. Ember dan jerigen menjadi teman setia dalam perjalanan mencari air, sebuah pemandangan yang menggambarkan penderitaan dan harapan yang terus tergerus.
Dulu, harapan sempat terbit ketika PDAM datang membawa janji-janji akan air yang melimpah. Namun, janji itu kini hanya menjadi bayang-bayang yang memudar, menguap bersama dengan air yang tak pernah mengalir lancar. Setiap harapan yang dulu sempat terucap kini berubah menjadi kekecewaan yang mendalam menambah luka di hati warga yang semakin sulit disembuhkan.
Masyarakat di sini hidup dalam ketidakpastian yang menyayat hati. Mereka butuh tindakan nyata. Sumur bor dalam kapasitas besar untuk beberapa titik yang dapat menghidupkan mereka kembali adalah harapan yang terucap dalam doa-doa malam yang penuh haru. Setiap malam di bawah langit yang gelap dan penuh bintang, mereka memandang ke atas dengan air mata yang tertahan, berharap suatu hari nanti, kemarau tak lagi menjadi kutukan yang menimpa desa mereka. Mereka butuh uluran tangan, perhatian yang tulus, dan solusi yang nyata untuk mengakhiri penderitaan ini.
Bayangkan seorang ibu yang harus berjuang setiap hari untuk menyediakan air bagi keluarganya. Dengan punggung yang mulai membungkuk karena beban hidup, ia harus berjalan ratusan meter hanya untuk mendapatkan beberapa liter air yang mungkin tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Atau seorang anak kecil yang seharusnya bermain dan belajar tetapi harus ikut membantu orang tuanya mencari air. Pemandangan ini adalah realitas pahit yang harus dihadapi oleh warga desa Tugondeng setiap musim kemarau.
Setiap kali mereka melihat ke langit yang tak lagi meneteskan hujan, ada perasaan putus asa yang semakin mendalam. Air yang seharusnya menjadi hak dasar setiap manusia kini menjadi barang mewah yang sulit dijangkau. Warga desa ini tak henti-hentinya berharap dan berdoa agar keajaiban datang agar ada pihak yang mendengar jeritan hati mereka.
Di tengah kerontang dan kesedihan yang mendalam, mereka tetap bertahan dengan secercah harapan yang terus menyala meski redup. Harapan akan hari esok yang lebih baik, di mana air tidak lagi menjadi mimpi yang sulit digapai, tetapi kenyataan yang bisa dinikmati oleh setiap warga desa. Hingga saat itu tiba, mereka terus berjuang, bertahan dengan segala keterbatasan, memupuk harapan yang tersisa di tengah derita yang mendera. (Redaksi)