Di Balik Kemegahan DPRD Bantaeng, Skandal Korupsi yang Menghancurkan Harapan Rakyat
CATATAN KAKI — Di balik megahnya gedung DPRD Bantaeng, tersimpan kisah pilu yang mencoreng wajah lembaga wakil rakyat. Tiga pimpinan terhormat, Hamsyah Ahmad, H. Irianto, Muhammad Ridwan, serta sekretaris dewan Djufri Kau, kini menjadi tersangka dalam skandal korupsi yang menyayat hati. Nama-nama yang dulu dihormati, kini menjadi simbol kegagalan moral dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Program “Belanja Natura dan Pakan Natura” yang semestinya untuk kepentingan rumah tangga pimpinan DPRD ternyata hanya kedok untuk menutupi praktik kotor mereka. Anggaran dari APBD Kabupaten Bantaeng yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat malah dijadikan celengan pribadi sejak September 2019 hingga Mei 2024, dengan jumlah hampir lima miliar rupiah.
Kajari Bantaeng, Satria Abdi, memaparkan betapa liciknya modus operandi mereka. Djufri Kau, sebagai pengguna anggaran, rutin mengajukan pencairan dana setiap bulan. Para pimpinan DPRD menerima uang tersebut secara tunai, meski mereka tidak pernah menempati rumah negara yang disediakan. Uang terus mengalir deras ke kantong pribadi mereka, sementara rakyat yang mempercayakan amanah harus menelan pil pahit pengkhianatan.
Ironisnya, Pasal 18 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 dengan tegas melarang belanja rumah tangga jika fasilitas rumah negara tidak digunakan. Namun, ketentuan ini diabaikan oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga moral dan integritas pemerintahan.
Masyarakat Bantaeng, yang sudah mempercayakan masa depan mereka di tangan para pimpinan ini, kini hanya bisa menyaksikan dengan keprihatinan mendalam. Harapan dan kepercayaan yang dahulu diberikan, kini terbayar dengan rasa kecewa dan ketidakadilan. Keempatnya telah mencoreng nilai-nilai kejujuran dan pengabdian yang seharusnya mereka junjung tinggi.
Kisah ini bukan sekadar tentang angka-angka besar yang dicuri, tetapi tentang hilangnya integritas dan moralitas di antara mereka yang seharusnya menjadi teladan. Di tengah kemegahan gedung dan formalitas jabatan, terselip kenyataan pahit tentang ketamakan yang tak berujung. Pada akhirnya, keadilan yang terluka menuntut haknya, menyingkap keburukan yang tersembunyi di balik topeng kemuliaan.
Namun, di balik semua fakta dan tuduhan yang terungkap, ada satu prinsip hukum yang harus selalu dipegang teguh: praduga tak bersalah. Prinsip ini adalah pondasi dari sistem hukum yang adil dan beradab yang memastikan setiap orang diperlakukan dengan martabat dan hak-hak dasar mereka dijamin sampai ada putusan hukum yang tetap.
Praduga tak bersalah, atau “presumption of innocence”, adalah prinsip bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya di pengadilan. Ini bukan hanya prinsip hukum, tetapi juga asas moral yang mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru menjatuhkan vonis sebelum proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.
Dalam konteks skandal korupsi ini, penting untuk mengingat bahwa meskipun bukti dan tuduhan mungkin tampak kuat, keputusan akhir ada di tangan pengadilan. Proses hukum yang adil membutuhkan waktu untuk mengumpulkan bukti, mendengarkan saksi, dan memastikan bahwa semua prosedur dilaksanakan dengan benar.
Masyarakat yang marah dan kecewa memiliki hak untuk menuntut transparansi dan keadilan, tetapi juga harus bersabar dalam menunggu proses hukum berjalan. (***)