Ketika Kemewahan Mengaburkan Amanah, KPU dan Permintaan Maaf yang Mengundang Tanya

CATATAN KAKI — Kita menyaksikan permintaan maaf dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, yang mengakui bahwa fasilitas mewah yang digunakan oleh para komisioner mungkin dianggap berlebihan oleh publik. Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menjelaskan bahwa semua fasilitas ini dikelola oleh Sekretariat Jenderal KPU RI dan telah melalui pembahasan serta disesuaikan dengan aturan yang berlaku.
Namun, permintaan maaf ini meskipun terdengar tulus, tampaknya tidak sepenuhnya mampu meredakan kekhawatiran dan kekecewaan masyarakat. Penyediaan kendaraan dinas tambahan, seperti Hyundai Palisade dan Toyota Alphard, yang disebut sebagai kendaraan sewaan untuk mengantisipasi kerusakan mobil dinas, menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara pejabat publik dan masyarakat yang mereka layani. Dalam situasi ekonomi yang sulit, penggunaan mobil mewah oleh pejabat publik menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas dan kesadaran sosial mereka.
Afifuddin menjelaskan, “Kalau soal fasilitas, kami ya kan pernah bahas juga. Yang penting pertama satu tidak ada larangan, yang atau aturan yang kita langgar.” Ia menambahkan bahwa penyediaan kendaraan tersebut dilakukan karena padatnya agenda KPU RI saat tahapan Pemilu 2024. “Ya dalam beberapa kejadian, misalnya mendadak satunya apa, aki drop, yang saya alami kan begitu. Ya maksudnya kan yang namanya buatan manusia kadang-kadang kecapean juga. Mobil juga muter terus,” ujarnya dalam Program Gaspol di Youtube Kompas.com, Rabu (17/7/2024).
Namun, pernyataan ini meski dimaksudkan untuk meredakan kekhawatiran, malah mengesankan seolah-olah penggunaan mobil mewah adalah kebutuhan mendesak, bukan kemewahan. Pernyataan bahwa “tidak ada aturan yang dilanggar” dan bahwa fasilitas ini telah dibahas sesuai aturan yang berlaku, tampaknya mengabaikan esensi dari kebijakan publik yang harus selalu mempertimbangkan keadilan dan kesederhanaan, terutama dalam lembaga seperti KPU yang memiliki tugas besar menjaga demokrasi.
Sementara itu, kritik tajam datang dari Mahfud MD, yang mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap perilaku komisioner KPU. Dalam cuitannya, Mahfud menyuarakan kekhawatiran tentang penyalahgunaan fasilitas negara yang berlebihan, seperti penggunaan tiga mobil dinas per komisioner dan penyewaan jet untuk alasan dinas. “Info dari obrolan sumber Podcast Abraham Samad SPEAK UP, setiap komisioner KPU sekarang memakai 3 mobil dinas yang mewah, ada juga penyewaan jet (untuk alasan dinas) yang berlebihan, juga fasilitas lain jika ke daerah yang (maaf) asusila. DPR dan Pemerintah perlu bertindak, tidak diam,” tulis Mahfud.
Mahfud bahkan mengusulkan pergantian seluruh komisioner KPU tanpa harus menunda Pilkada, sebuah langkah yang menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran ini di mata publik. “Pergantian semua komisioner KPU perlu dipertimbangkan tanpa harus menunda Pilkada November mendatang,” sebut dia. “Juga tanpa harus membatalkan hasil pemilu yang sudah selesai diputus atau dikonfirmasi oleh MK Pilpres dan Pileg 2024 sebagai hasil kerja KPU sekarang sudah selesai, sah, dan mengikat,” tambah Mahfud.
Dalam konteks ini, permintaan maaf dari KPU terasa kurang mampu meredakan keresahan masyarakat. Ia lebih terasa sebagai upaya defensif daripada introspektif, tidak menjawab akar masalah tetapi lebih berfokus pada pembenaran teknis. Masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar permintaan maaf, mereka membutuhkan transparansi, keadilan, dan kesederhanaan dari lembaga yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi. Keprihatinan ini bukan hanya tentang fasilitas mewah, tetapi tentang harapan akan pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan peduli terhadap kepentingan rakyat. (Redaksi)