Opini : Menakar Durasi Waktu Pelaksanaan Uji Kompetensi


(Catatan kritis dari sebuah pengalaman jadi asesor, Bagian 1 dari 3 tulisan)

Oleh : Zaenal Abidin, S.Pd

OPINI — Lembaga Pelatihan Kerja memiliki fungsi sebagai wadah kegiatan pelatihan untuk mendukung calon tenaga kerja supaya lebih siap, berkualitas, dan berkompeten, sehingga dapat bersaing di dunia kerja ataupun berwirausaha.

Untuk mengukur capaian itu, pemerintah melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) mewajibkan alumni pelatihan untuk uji sertifikasi.

Tujuannya sekali lagi adalah untuk mendapatkan bukti-bukti yang valid, berlaku sekarang/terkini/serta otentik sebagai dasar apakah peserta uji sudah kompeten atau belum kompeten terhadap unit kompetensi yang diujikan.

Uji Kompetensi dilakukan melalui proses penilaian (assessment) baik teknis maupun non teknis melalui pengumpulan bukti yang relevan untuk menentukan apakah seseorang telah kompeten atau belum kompeten pada skema sertifikasi tertentu.

Uji kompetensi bersifat terbuka, tanpa diskriminasi dan diselenggarakan secara transparan.

Kompetensi sendiri adalah pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur (Rusman, 2010).

Hal-hal yang dinilai pada pelaksanaan uji kompetensi meliputi aspek persiapan, proses (sistematika dan cara kerja), hasil kerja, sikap kerja dan waktu.

Berdasarkan aspek penilaian tersebut di atas yang menarik perhatian adalah mengenai standar waktu pelaksanaan uji kompetensi. Dalam lembar penilaian tersebut indikator atau durasi waktu yang ditetapkan kurang spesifik.

Kerap dijumpai di lapangan penentuan durasi waktu pelaksanaan uji kompetensi baik yang bersifat teori maupun praktek yang termaktub pada perangkat uji belum sepenuhnya konsisten diterapkan. 

Shorten the time atau mempersingkat waktu pelaksanaan uji masih saja terjadi. Waktu yang biasanya sekian jam dalam perangkat uji kemudian di “compact” jadi sekian jam. 

Untuk mendapatkan legitimasi, asesor biasanya menawarkan ke peserta uji atau sebaliknya. Membangun deal-deal, kesepakatan waktu dan berakhir pada win-win solution. 

Akibatnya, pelaksanaan uji acap kali melebihi dari waktu normal bisa sampai larut malam. Tentu ini tidak produktif. 

Memaksakan belajar atau ujian hingga malam hari, artinya jam tidur akan terganggu. Tubuh tidak mendapat waktu istirahat yang cukup. Imbasnya adalah kurang konsentrasi.

Kemampuan dalam menyerap materi menjadi lemah, daya nalar berkurang, kemampuan memecahkan masalah jadi terbatas dan menjadi kurang fokus. Mengantuk dan malas adalah imbas berikutnya. 

Inilah yang seringkali jadi pertanyaan. Apakah patokan waktu pada perangkat uji terlalu mubazir atau kita selaku asesor yang tidak sabaran mengikuti alur waktu yang telah ditetapkan. Wallahu A’lam. 

Penulis adalah Pengelola Lembaga Pelatihan Kerja “Panrita Cipta Usaha” Bulukumba dan  Instruktur pada Balai Latihan Kerja Bulukumba. 

 

 

Berita Terkait

Top