Tampil Mencolok Sepulang dari Tanah Suci
CATATAN KAKI — Di bawah langit biru Makassar, sekembalinya dari Tanah Suci, ratusan jemaah haji kloter pertama tiba di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar. Aroma bandara bercampur dengan keriuhan keluarga yang menyambut mereka, namun ada sesuatu yang mencuri perhatian: penampilan sebagian jemaah yang begitu mencolok, dibalut emas dan perhiasan yang berkilauan di bawah matahari tropis.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan merasa prihatin dengan fenomena ini. Kebiasaan masyarakat Bugis-Makassar dalam menunjukkan kemewahan sepulang haji sering kali dilakukan dengan niat kesombongan, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran haji. Esensi dari perjalanan suci ini tampaknya telah terabaikan di balik kilau perhiasan.
Penampilan glamor jemaah haji memang bisa dilihat sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur setelah kembali dari Makkah. Namun, makna sejati dari haji tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak dan perilaku sehari-hari. Ritual haji yang diisi dengan kesederhanaan seharusnya mencerminkan kehidupan sehari-hari setelah pulang ke tanah air.
Selama prosesi haji, pakaian yang dikenakan adalah pakaian sederhana. Namun, setelah pulang, beberapa jemaah tampil dengan penampilan yang berlebihan, bertentangan dengan semangat dan pesan yang dibawa oleh haji. MUI Sulsel berharap agar jemaah haji yang kembali ke Tanah Air dapat tampil dalam batas kewajaran dan menjadi teladan bagi masyarakat sekitar.
Pada Minggu, 23 Juni, 450 jemaah haji kloter pertama tiba di Makassar. Di antara mereka, khususnya para perempuan, ada yang mengenakan pakaian mencolok lengkap dengan perhiasan emas. Penampilan seperti ini memicu perhatian dan kritik dari berbagai pihak, termasuk MUI Sulsel.
Seharusnya, jemaah haji menampilkan kesederhanaan dan kerendahan hati sebagai manifestasi dari ibadah yang baru saja mereka jalani. Ibadah haji bukan sekadar rangkaian ritual fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang mendalam yang seharusnya tercermin dalam perilaku sehari-hari. Haji mengajarkan tentang kesederhanaan, kepatuhan, dan kerendahan hati di hadapan Allah. Jika sepulang haji justru menunjukkan kemewahan dan kesombongan, maka hal ini bertentangan dengan esensi dari ibadah tersebut.
MUI Sulsel berencana untuk terus melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya para calon jemaah haji, tentang pentingnya menjaga kesederhanaan dan kerendahan hati. Dengan memberikan pemahaman yang benar tentang esensi ibadah haji, diharapkan para jemaah haji dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat sekitar.
Dalam menghadapi fenomena ini, MUI Sulsel berharap agar masyarakat lebih memahami dan menghargai makna dari ibadah haji. Bukan hanya sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial, tetapi lebih sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki diri. Haji adalah momen yang sangat sakral dan seharusnya membawa perubahan positif dalam diri seseorang. Penampilan luar seharusnya mencerminkan kebersihan hati dan akhlak yang baik. (*””)